Monday, May 18, 2009

Pelajaran Berharga dari Skandal Bank BNI

AKAL sehat kian tak punya tempat di negeri ini. Para analis perbankan saja tak habis mengerti bagaimana mungkin Bank Negara Indonesia bisa kebobolan Rp 1,7 triliun lewat ratusan transaksi sejenis, dengan modus surat kredit (letter of credit atau L/C) fiktif.
Peristiwanya berlangsung mulus selama kurun waktu lebih dari setahun (Juli 2002 hingga Agustus 2003). Pengawasan internal Bank Negara Indonesia (Bank BNI) tak berjalan. Sistem pengawasan Bank Indonesia (BI) juga ternyata tumpul. Lembaga yang berkewajiban mengawasi perbankan ini baru bisa mengendus tatkala api telah berkobar ke berbagai penjuru.
Sungguh skandal L/C fiktif Bank BNI sangat mengusik rasa keadilan masyarakat. Betapa mudahnya segelintir pengusaha jahat meraup dana triliunan rupiah dari perbankan tanpa usaha yang jelas.


Dana itu tak ditanamkan untuk membangun pabrik sehingga bisa menyerap tenaga kerja. Mereka cuma mengakal-akali sejumlah dokumen, memalsukan dan memanipulasinya. Seolah-olah mereka telah mengekspor barang hingga ke Afrika, padahal ekspor bodong semata.
Kenyataan ini sangat kontras dengan gambaran hiruk-pikuk ibu-ibu yang Jumat pekan lalu antre berdesak-desakan untuk sekadar memperoleh uang Rp 20.000 dan sehelai kain. Antrean itu akhirnya menelan empat korban jiwa, di samping puluhan orang lainnya pingsan tak sadarkan diri.
Kontras dengan seorang murid sekolah dasar bernama Heryanto yang mencoba bunuh diri karena orangtuanya tak sanggup membayar uang prakarya sebesar Rp 2.500.
Kontras dengan ratusan ribu pengusaha kecil dan menengah yang tidak bisa memperoleh fasilitas kredit karena tak punya agunan.
Jika kasus L/C fiktif Bank BNI hanya ditangani semata- mata sebagai kejahatan perbankan biasa, maka kita akan kehilangan jejak untuk mengatasi sampai ke akar masalahnya. Kita tinggal menunggu peristiwa serupa bakal terjadi lagi di masa mendatang.
KASUS pembobolan dana perbankan sudah berlangsung berulang kali. Tahun lalu Bank Mandiri dan Bank BNI kebobolan ratusan miliar rupiah melalui deposito fiktif. Salah seorang otak pelakunya adalah Yulianus Indrayana yang beberapa waktu setelah kasus ini terbongkar, konon, melakukan bunuh diri.
Yulianus dikenal sebagai pelaku di bursa saham dengan track record yang buruk. Ia pernah mengalami gagal bayar dan terbukti telah melakukan tindak pidana di pasar modal. Dengan bukti yang cukup meyakinkan, ternyata Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tidak melakukan tindakan apa-apa.
Bursa Efek Jakarta pun tak melakukan tindakan pencekalan atau pelarangan transaksi terhadap perusahaan yang memfasilitasinya (PT Jasabanda Garta). Perlakuan terhadap Yulianus dan PT Jasabanda Garta tergolong istimewa mengingat pada waktu yang hampir bersamaan Yanes Naibaho, mantan Direktur Usaha Bersama Securities (UBS), dikenai tahanan karena melakukan tindakan kriminal serupa.
Kalau saja kala itu Bursa Efek Jakarta dan Bapepam bertindak tegas, sangat boleh jadi Yulianus tidak akan leluasa menggarong dana dari Bank Mandiri dan Bank BNI. Sampai sekarang PT Jasabanda masih tercatat sebagai anggota bursa.
Belajar dari pengalaman kasus pembobolan Bank BNI yang terakhir dan kasus-kasus serupa sebelumnya, hal yang paling mencolok yang patut dikedepankan ialah lemahnya peranan lembaga-lembaga regulator dan penegak hukum. Akibatnya, para pelaku yang sudah memiliki track record buruk tetap leluasa melakukan tindakan-tindakan kriminal.
Mereka hinggap dan mengais dana dari satu ke lain tempat, melompat-lompat segesit tupai, karena sistem pengawasan yang lemah dan lembaga-lembaga regulator dan penegak hukum yang korup. Kalaupun mereka tertangkap, keesokan harinya bisa bebas. Kalaupun divonis oleh pengadilan, hukumannya selalu sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Tindakan-tindakan kriminal di sektor keuangan semakin mengharu biru karena kekuatan politik turut bermain. Tengok saja sepak terjang para pembobol Bank BNI.
Mereka terlibat dalam bisnis ekspor pasir dan pembelian aset-aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Siapa pun tahu bahwa untuk berbisnis di kedua bidang ini, keberhasilannya sangat ditentukan oleh kedekatan dengan penguasa dan politisi.
Tak kurang dari Direktur Utama Bank BNI sendiri yang menduga ada unsur kegiatan pencucian uang di dalam kasus L/C fiktif Bank BNI.
MODUS operandi dan pola pencairan uang dan arus pengembalian dana ke Bank BNI yang tak wajar menjadi indikasi kuat bahwa kasus ini tak bisa digolongkan sekadar sebagai tindakan kriminal biasa.
Ringkasnya, skandal yang menimpa Bank BNI mengandung beragam unsur dan sekaligus menunjukkan betapa buruknya penerapan corporate governance (tata kelola perusahaan), khususnya di bankbank pemerintah.
Biaya ratusan triliun rupiah yang telah dibenamkan ke bank-bank pemerintah tidak kunjung cukup untuk membuat sehat bank-bank pelat merah ini. Jangankan berperan untuk memajukan sektor riil, menolong dirinya sendiri saja tak mampu.
Yang lebih mencolok, yang mereka lakukan sekadar memberikan iming-iming hadiah kepada para deposan dan penabung. Mereka jauh dari inovatif untuk membiayai sektor riil yang mulai menggeliat.
Sebagian mereka justru sibuk membeli aset-aset BPPN yang bobrok dan menjadi fasilitator bagi pemilik lama untuk menguasai aset-asetnya kembali dengan harga yang sangat murah.
Sekaranglah saatnya bagi pemerintah untuk mengkaji ulang keberadaan bank-bank pelat merah. Bagi yang memang sudah sulit untuk dibenahi, jangan ragu untuk mengalihkan kepemilikannya kepada publik dan investor strategis.
Bagi yang keberadaannya masih bisa dipertahankan dan diarahkan untuk menjadi motor pembangunan bagi masyarakat luas, sepatutnya proses divestasi dipercepat agar tangan-tangan kekuasaan tak lagi dengan leluasa menjamah mereka.
Namun, bagaimana mungkin proses ini berjalan dengan baik kalau tangan-tangan yang bertanggung jawab untuk melakukan privatisasi sedemikian kotornya?
Di tengah kegiatan sektor riil yang masih berjalan terseok-seok, makin banyak pelaku usaha yang memikirkan jalan pintas. Di tengah para politisi yang kehausan dana untuk membiayai kampanye, semakin marak permintaan dan penawaran di pasar korupsi.
Kedua belah pihak bahu- membahu memanfaatkan kelemahan penegakan hukum, merampok dana masyarakat dan aset-aset negara. Mereka meraih keuntungan sebesar-besarnya yang nilainya setara dengan tambahan beban rakyat yang semakin menggunung.
Peta permasalahan semakin jelas. Jalinan persoalan semakin terpola. Kita sudah sampai pada puncak gunung es. Saya yakin, seandainya skandal Bank BNI diselesaikan secara tuntas, anatomi perampokan aset negara yang sudah sangat terang- terangan ini akan tersibakkan. Jika tidak, kita tinggal menunggu kehancuran bank-bank pemerintah.
Dua pekerjaan rumah menghadang. Pertama, reformasi besar-besaran terhadap lembaga- lembaga regulator, termasuk self regulatory bodies di sektor keuangan.
Kedua, membangun national financial hub yang terintegrasi sehingga seluruh transaksi keuangan termonitor dengan cepat dan akurat.
Hanya dengan sistem teknologi informasi yang terintegrasi inilah kita bisa dengan cepat mendeteksi dan melakukan tindakan preventif dan kuratif yang efektif. Dengan demikian, lembaga-lembaga keuangan kita terbebas dari tangan-tangan kotor penguasa korup dan pengusaha biadab.


No comments:

Post a Comment